Kamis, 21 Juli 2016

Mempertegas Eksistensi Diri Manusia

https://www.youtube.com/watch?v=y9Ski3H8dXk
Cobalah Anda duduk berdampingan dengan seekor monyet! Kendati orang mengatakan bahwa nenek moyang kita adalah monyet (walaupun ini salah), namun orang bisa mengatakan bahwa Anda bukanlah monyet. Anda adalah manusia, bukan monyet, karena Anda berbeda dengan monyet. Sekarang Anda renungkan, bagaimana jika ada orang yang berusaha untuk sama dengan monyet, misalnya tidak berpakaian? Apa simpulan Anda?

Begitu juga dengan kambing dan anjing. Kambing adalah kambing, dan anjing adalah anjing.
Kambing disebut kambing karena ia berbeda dengan anjing, baik wujud maupun perilakunya. Tidaklah mungkin kambing berusaha menjadi seperti anjing yang makan daging, juga tidaklah mungkin anjing berusaha menjadi seperti kambing yang makan rumput.

Manusia yang berusaha kembali ke alam dengan membuka pakaiannya (nudis), bisa disimpulkan meniru binatang. Mereka ingin bebas seperti binatang. Maka, mereka berusaha untuk keluar dari sebutan sebagai manusia. Mereka menjadi makhluk setengah hati, disebut sebagai manusia tidak layak, disebut sebagai binatang juga tidak pas. Mungkin akan pas jika disebut sebagai binatang jadi-jadian.

Pada makna lebih dalam, manusia adalah ciptaan (makhluk) Allah Swt seperti benda-benda lainnya. Maka ia terikat dengan hukum Sang Pencipta, harus tunduk kepada hukum yang mengikatnya. Ketika ia berusaha untuk melawan atau keluar dari hukum itu, maka ia akan hancur. Perlu kita pahami, bahwa hukum yang mengikatnya ada dua macam, yaitu hukum fisik (sunatullah) dan hukum bukan fisik (aturan-aturan yang mengatur kehidupannya, disebut syari’at).

Manusia tidak bisa menolak sunatullah, melainkan harus menyelaraskan diri dengannya. Ketika ia menolak atau menentangnya, maka kehancuran yang akan didapatkannya. Contohnya, jika ia mengonsumsi racun, maka tubuhnya akan rusak. Jika ia mengonsumsi nikotin, maka paru-parunya akan menderita. Jika mau sehat, maka ia harus menyelaraskan diri dengan kehendak pencipta hukum tersebut.

Sedangkan terhadap hukum syari’at juga berlaku hal yang sama. Jika mau bahagia, maka harus menyelaraskan diri dengan syari’at. Tentu bukanlah sebaliknya, syari’at yang harus menyesuaikan dengan kepentingan manusia, atau sama saja dengan menuntut agar Allah yang menyesuaikan diri terhadap keegoan manusia. Memangnya manusia lebih berkuasa dibanding Allah? Apakah manusia lebih tahu daripada Allah tentang hal yang baik atau buruk terhadap dirinya?

Jika ada manusia yang menuntut agar Allah yang harus menyesuaikan diri dengan kehendaknya, maka berarti ia hendak menjadi Tuhan. Tuhan dituntut untuk tunduk kepada manusia, menjadi lebih rendah statusnya dibanding manusia. Manusia seperti ini sudah keluar dari statusnya sebagai manusia. Disebut sebagai manusia hanya casing-nya saja, dan disebut sebagai Tuhan juga pasti bukan. Eksistensinya sebagai manusia telah hilang, entah yang tepat disebut apa dan di mana tempat yang layak baginya. Ia bukan manusia.

Ia akan disebut sebagai manusia jika ia memosisikan dirinya sebagaimana semestinya manusia, yaitu sebagai ciptaan (makhluk) yang tunduk kepada hukum Penciptanya. Tubuhnya tunduk kepada sunatullah, dan jiwanya pun tunduk kepada syari’at-Nya. Dengan demikian derajad kemuliaannya layak untuk disandangnya, yaitu abdullah (hamba Allah).

Ngudi Tjahjono, Malang (22 Juli 2016)

---------------------------------------

Artikel lainnya:
1. Bukan Aku yang Menentukan (klik)
2. Menuding Diri (klik)
3. Beberapa Kesalahan Berbahasa dalam Penulisan (klik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar