Gambar: http://bersamadakwah.net/ |
Seorang pimpinan organisasi memiliki fungsi kepemimpinan seperti,
merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan dan mengendalikan organisasinya.
Jika pimpinan tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya, maka ia tidak pantas
menduduki posisi tersebut. Ia lebih pas berada pada posisi anak buah saja.
Setiap orang memang mempunyai peluang yang sama untuk menduduki posisi
pimpinan, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Pada kasus ini,
kecakapan dalam memimpin adalah merupakan syarat penting bagi seorang pemimpin.
Maka, hanya orang-orang yang memenuhi syarat saja yang layak menjadi pemimpin.
Manusia memiliki kelebihan dan kekurangan yang ditentukan oleh kadar masing-masing. Jika dilihat dari sisi kemakhlukan, sejatinya manusia (demikian juga semua makhluk lainnya) sangat lemah. Namun tidak banyak orang yang menyadari kelemahan ini.
Coba sekarang Anda hitung kelebihan apa yang Anda miliki secara tepat! Bisakah? Atau, coba Anda evaluasi, apakah keadaan Anda sebagai manusia menjadi seperti saat ini karena peran Anda sendiri? Tentu tidak, bukan? Lalu, siapakah yang paling dominan? Andakah? Ternyata juga bukan Anda. Keberadaan Anda hingga menjadi seperti saat ini telah melibatkan amat banyak pihak yang justeru mungkin tidak pernah Anda cermati.
Sekali lagi, coba Anda renungkan pertanyaan berikut. Bisakah Anda
menceritakan secara detil apa yang Anda lakukan tiga puluh hari yang lalu pada
jam ini? Tentu sangat sulit, bukan? Baiklah, saya persingkat. Bisakah Anda
menceritakan secara detil apa yang Anda lakukan kemarin pada jam seperti
sekarang ini? Ternyata juga masih sulit untuk mengingatnya. Jika untuk kurun
waktu lima menit yang lalu, mampukah Anda menceritakan secara detil apa yang
telah Anda lakukan? Pada saat itu sedang menghadap ke mana, posisi duduk seperti
apa, apa yang Anda pegang, apa yang Anda pikirkan dan sebagainya secara detil?
Ternyata juga tidak bisa.
Kita tidak mamapu mengingat apa yang terjadi di masa lalu secara
detil. Apalagi kejadian di masa depan, kita tidak akan tahu. Apa yang akan
terjadi pada diri kita besuk pagi, juga tidak tahu. Kendati kita sudah
merencanakan dengan cermat apa yang akan kita lakukan besuk, kita tidak bisa
memastikan apakah akan terlaksana besuk pagi.
Hal yang kecil saja kita tidak tahu, apalagi yang besar. Dimensi
yang amat besar di alam semesta yang belum diketahui seberapa luasnya, tentu
sangat jauh dari jangkauan pengetahuan kita. Jika kita serba tidak tahu, bahkan
terhadap diri kita sendiri, bagaimana mungkin kita mengetahui apa yang baik
atau buruk bagi diri kita? Bagaimana mungkin kita bisa mengatur diri kita
dengan benar hanya berdasarkan persepsi kita sendiri?
Perilaku Manusia
Wawan dan Dewi (2010) dalam buku Teori & Pengukuran
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia, telah menguraikan perilaku manusia.
Perilaku manusia adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau tindakan
yang dapat diamati dan memiliki frekuensi spesifik, durasi dan tujuan, baik
disadari maupun tidak.
Tentunya hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain:
pengetahuan, persepsi, harapan, pengaruh lingkungan dan sebagainya. Persepsi
seseorang terhadap dirinya sendiri dan Tuhannya akan membentuk perilaku
tertentu.
Jika orang memiliki persepsi bahwa dirinya adalah hebat dan yang
lain lemah, maka akan berperilaku sok hebat. Ketika orang berpersepsi bahwa
Tuhan itu seperti manusia (bisa makan, minum, sedih dan dendam), maka ia akan
memerlakukan Tuhan seperti manusia. Tuhan harus mengerti tentang diri manusia
dan seharusnya menyesuaikan dengan kepentingan manusia. Tuhan dipaksa harus
menuruti egoisme manusia, bukan bukan manusia yang menyesuaikan dengan kehendak
Tuhan.
Itulah sebabnya, karena orang berpersepsi bahwa dirinya serba tahu,
maka ia tidak mau diatur oleh Tuhan. Ia menuntut untuk mengatur dirinya sendiri
karena beranggapan telah memiliki konsep yang paling baik. Maka, nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran dari Tuhannya cenderung untuk ditolak. Mereka
beranggapan bahwa Tuhan tidak boleh mengurusi kepentingan manusia. Biarkan
manusia mengatur dirinya sendiri.
Ketika manusia mengatur dirinya sendiri, maka baik, buruk, benar
dan salahnya diukur terhadap kepentingan nafsunya. Bagaimana mungkin makhluk
yang serba lemah ini bisa mengatur dirinya dengan baik dan benar? Tentu tidak
bisa, bukan?
Nilai Tuhan
Parameter baik atau buruk, benar atau salah dan mulia atau hina
haruslah ada, agar manusia bisa memosisikan dirinya dengan pasti. Tentunya parameter
itu tidaklah mungkin diserahkan kepada manusia itu sendiri. Bukankah kita sudah
mengetahui kelemahan manusia? Maka, yang layak menentukan parameter itu adalah
Dia, Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta ini. Dialah yang tahu
bagaimana seharusnya manusia itu diatur agar menjadi baik dan berbahagia.
Manusia bisa mengikuti parameter yang tepat jika ia bisa memahami
eksistensi dirinya dengan benar. Hanya orang yang memahami bahwa dirinya adalah
seorang hamba Allah, maka ia bisa memosisikan dirinya sebagai makhluk manusia
yang seharusnya sebagai manusia. Dengan demikian eksistensi dirinya sebagai
manusia menjadi jelas. Dengan kejelasan itulah terletak kemuliaannya. Kemuliaan
dirinya bukan ditentukan oleh persepsi egoismenya, melainkan oleh sejauh mana ia
tunduk kepada aturan-aturan Tuhannya.
“Sungguh orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (QS. Al Hujuraat [49]: 13).
Maka, raihlah kemuliaan itu dengan bukti
ketundukan kepada ketentuan-Nya. Semoga Allah memberi kekuatan. Aamiin. Wallahu
a’lam.
Ngudi Tjahjono, Malang (22 Juli 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar